Rakor Fraksi PKB bersama perangkat daerah bahas percepatan pembahasan Raperda Patanjala dan Jasa Lingkungan (Jasling) Kabupaten Sukabumi / Foto: Istimewa
MEDIAAKSARA.ID – Anggota DPRD Kabupaten Sukabumi, Bayu Permana, menegaskan urgensi percepatan pembahasan Raperda Patanjala dan Jasa Lingkungan (Jasling) sebagai respon atas meningkatnya bencana hidrometeorologi di wilayah Sukabumi. Menurutnya, kerusakan kawasan lindung dan alih fungsi lahan menjadi faktor utama yang memperparah kondisi ekosistem.
“Jika saja kita mau sedikit membuka mata lebar, kejadian tersebut bukan sesuatu yang mengherankan, karena kondisi ekosistem lingkungan dari wilayah hulu, tengah hingga hilir sudah terganggu,” kata Bayu, anggota Komisi II DPRD Sukabumi dari Fraksi PKB, Selasa (16/9/2025).
Dalam keterangan resminya, Bayu sepintas beberkan catatan kelam bencana di Sukabumi menunjukkan tren mengkhawatirkan. Minggu lalu, banjir merendam tujuh rumah dan sebuah pesantren di wilayah desa cibolangkaler cisaat. Sebulan sebelumnya, longsor melanda Bojonggenteng. Pada 4 Maret 2025, tiga orang meninggal, lima hilang, dan 325 mengungsi akibat banjir. Bahkan sejak 4 Desember 2024, rangkaian bencana banjir, longsor, hingga pergeseran tanah terus terjadi hampir merata di Kabupaten Sukabumi.
Baca: https://mediaaksara.id/irigasi-kertamukti-rusak-500-hektare-sawah-terancam-gagal-panen-di-sukabumi/
Atas dampak tersebut, Bayu menyoroti kondisi Sungai Cicatih yang mengalami gangguan kawasan hingga 62,8 persen. Gunung Rompang di Simpenan sebagai hulu Sungai Cidadap juga terdampak alih fungsi lahan. Kondisi ini, menurutnya, memperlihatkan daya dukung dan daya tampung sungai sudah tidak lagi memadai.
“Disinilah kenapa Raperda Patanjala dan Jasling menemukan urgensinya. Sukabumi yang memiliki kekayaan budaya ,pengetahuan tradisional dan masyarakat hukum adat serta sumber daya alam justru terjebak dalam kutukan eksploitasi. Alam dieksploitasi tanpa memikirkan keselamatan lingkungan dan keberlanjutan,” ujarnya.
Berdasarkan Perda Tata Ruang, kawasan lindung Sukabumi hanya tersisa 12,8 persen, dengan kontribusi Kawasan Perlindungan Setempat (KPS) seluas 0,7 persen. Data ini menunjukkan kawasan lindung sudah tidak memadai untuk menopang kawasan budidaya. Padahal, dalam RPJMD 2025–2030, tahapan pembangunan diarahkan sebagai fondasi pencapaian RPJPD 2025–2045.
Bayu menegaskan, perluasan kawasan lindung berbasis kebudayaan Sunda melalui kearifan lokal Patanjala merupakan solusi yang tidak bisa ditawar. Selain memperkuat tata ruang dan ekologi, pendekatan budaya akan mendorong partisipasi masyarakat menjaga lingkungan.
“Agenda perluasan kawasan lindung harus berbasis kebudayaan. Pemerintah dan swasta sudah saatnya memprioritaskan langkah ini untuk memastikan pembangunan yang berkelanjutan sebagai warisan anak cucu kita di masa depan,” tutupnya yang juga aktivis lingkungan dari Dapil II.
Redaktur: Rapik Utama







