Direktur Utama Asosiasi Masyarakat untuk Sukabumi Inklusif (AMUSI), Ronal (kanan) / Foto: Istimewa
MEDIAAKSARA.ID – Di tengah gegap gempita program “Hadiah Umrah Gratis Gebyar Sipenyu” yang diinisiasi Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Kabupaten Sukabumi, muncul ironi yang tak bisa diabaikan. Di balik kemeriahan panggung seremonial dan sorotan kamera, tersimpan fakta getir, ratusan desa di Sukabumi masih menunggak Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) hingga miliaran rupiah.
Data terbaru menunjukkan, sekitar 250 desa telah dilaporkan ke kejaksaan karena belum menyetorkan kewajiban PBB mereka. Total tunggakan diperkirakan mencapai Rp25 miliar. Kondisi ini menimbulkan paradoks, ketika masyarakat digiatkan membayar pajak dengan janji hadiah umrah, aparatur desa yang menjadi ujung tombak pemerintahan justru belum menunaikan kewajibannya.
Program Gebyar Sipenyu sejatinya dimaksudkan sebagai bentuk apresiasi bagi masyarakat taat pajak. Namun di mata publik, muncul pertanyaan: apakah program ini benar-benar membangun kesadaran fiskal, atau sekadar gimik religius yang menutupi ketidakdisiplinan fiskal internal pemerintah daerah.
Direktur Utama Asosiasi Masyarakat untuk Sukabumi Inklusif (AMUSI), Ronal, menilai pendekatan berbasis hadiah tanpa keteladanan berisiko menurunkan kepercayaan publik terhadap institusi pemerintah.
“Pemerintah boleh kreatif mendorong kepatuhan pajak, tapi jangan sampai esensi kewajiban dikaburkan oleh euforia hadiah. Di satu sisi masyarakat dituntut taat, tapi di sisi lain desa-desa justru menunggak. Ini menciptakan kesan bahwa keteladanan fiskal belum hadir dari dalam,” ujar Ronal, Kamis (23/10/2025).
Ronal menegaskan, transparansi dan disiplin fiskal harus dimulai dari internal pemerintahan. Ketika desa sebagai perpanjangan tangan negara terindikasi abai terhadap kewajiban PBB, maka pesan moral kepada warga kehilangan maknanya.
“Kalau aparat desa saja belum patuh, bagaimana kita bisa menuntut warga patuh? Publik butuh konsistensi, bukan seremonial dan pencitraan,” tambahnya.
Baca: https://mediaaksara.id/pemdes-warungkiara-gerakan-kelola-sampah-ubah-limbah-jadi-berkah/
Gebyar Sipenyu memang menghadirkan antusiasme publik dengan hadiah umrah. Namun banyak kalangan menilai Bapenda lebih fokus pada seremoni ketimbang pembenahan sistemik, seperti optimalisasi data pajak, pembinaan aparatur, dan penegakan kedisiplinan fiskal di tingkat desa.
Kritik yang muncul bukan bentuk penolakan terhadap inovasi, melainkan kepedulian sosial agar pemerintah tidak menukar makna pajak dengan hadiah. Pajak seharusnya membentuk kesadaran kolektif, bukan sekadar memancing minat sesaat melalui iming-iming keberuntungan.
“Hadiah umrah mungkin hanya dinikmati segelintir orang. Tapi tertib pajak adalah hak semua warga. Pemerintah harus memastikan setiap rupiah PBB benar-benar masuk dan dikelola untuk kesejahteraan rakyat, bukan jadi alat promosi,” tutur Ronal.
Reporter: Juliansyah
Redaktur: Rapik Utama







